Siapa Yang Harus Memaafkan

Ummu Amalia M
5 min readAug 31, 2023

--

Suatu hari yang biasa-biasa saja di bulan Juni, saya terus menggeser layar ponsel. Berseluncur di sosial media, setelah beberapa jam duduk di meja kerja. Tiba-tiba saya menemukan satu unggahan di sebuah akun, sebut saja BesiBerani. Unggahan itu berisi pengumuman sebuah kegiatan bernama Alteraksi. Secara sederhana, kegiatannya akan menonton film yang disediakan dan berdiskusi. Entah dapat energi darimana, saya segera mengirim pesan di DM dan mendaftarkan diri.

Hari itu datang juga. Seharusnya, ini bukan suatu kebetulan. Jika bisa agak lancang, mari menyebutnya sebagai takdir karena apa lagi? Unggahan itu saya temukan saat sedang merindukan suasan diskusi di komunitas.

Saya tiba di lokasi yang telah disediakan, Mbloc Space. Tepatnya di ruang serbaguna. Saya pernah ke sini saat pertama kali tempat ini diresmikan. Saat tiba, saya diminta untuk mengisi daftar hadir dan membuat nametag sederhana yang ditempelkan di baju. Hanya untuk memudahkan peserta lainnya mengingat nama saya saat diskusi berlangsung.

Sambil menunggu film dimulai, kami diminta mengisi sebuah post card yang dibuka dengan kalimat “kenangan paling berkesan saat bersama Mama adalah” saat menerima postcard itu, mata saya langsung berkaca-kaca. Hati saya begitu rentan setiap kali berhubungan dengan kata “Mama”. Entah.

Postcard itu saya isi dengan tulisan kurang lebih begini, “memasak makanan untuk keluarga, bersama Mama di dapur” lalu ditempelkan pada sebuah papan yang disediakan. Saya melihat peserta lain juga melakukan hal yang sama.

Film dimulai..

Ada tiga film yang kami tonton, semuanya film pendek. Borrowed Time, Sowan, dan Daughter. Ketiga film ini tidak menghabiskan waktu terlalu banyak tapi cukup menguras air mata dan menyisakan sesak di dada.

Borrowed Time, berkisah tentang penyesalan seorang anak laki-laki yang tidak sengaja membunuh Bapaknya. Penyesalan itu ia bawa seumur hidup hingga ia tua. Sampai kemudian ia sadar, bagaimana jika kehidupan yang ia jalani ini justru adalah waktu yang dipinjamkan oleh Bapaknya?

Sowan, berlatar sejarah 65. Persahabatan dua gadis remaja yang akhirnya harus berakhir karena keadaan politik. Puluhan tahun berlalu, mereka sudah sama-sama tua tapi sejarah ini masih belum selesai. Si A mendapatkan berita bahwa sahabatnya si B masih hidup. Ia melakukan perjalanan mencari sahabatnya untuk meminta maaf atas kisah masa lalu, bersama suaminya yang merupakan pensiunan angkatan militer tapi di tengah jalan suaminya kabur. Akhirnya ia melanjutkan sendiri perjaanan itu. Mungkin ini sangat terlambat tapi lebih baik daripada mati bersama penyesalan.

Daughter. Seorang ibu single parent yang membesarkan anaknya sendiri di dalam Taxi. Dia bekerja sebagai driver dan anaknya dibawa kemanapun ia pergi. Ia bahkan rela menolak penumpang jika lebih dari satu orang atau si penumpang keberatan atas kehadiran si anak. Suatu malam penuh salju, di perjalanan pulang dari trip terakhir hari itu, si anak meminta ibunya mengambil satu lagi penumpang karena ia seorang Nenek yang sendirian. Si Ibu setuju. Saat Nenek itu masuk ke Taxi, saat itulah si Ibu sadar bahwa penumpang itu adalah Ibunya yang selama ini ia tinggalkan sejak hari dia memutuskan pergi dari rumah. Si Nenek bilang, jika setiap tahun di hari natal, ia pergi keluar mencari anaknya (si Ibu) sambil membawa kue kesukaan anaknya. Nenek ingin meminta maaf atas perkataannya hari itu. Nenek hanya ingin anaknya hidup lebih baik. Film ini ditutup dengan menampilkan shot berisi tiga perempuan dari generasi berbeda yang belajar untuk saling memaafkan.

Jika punya waktu luang, silakan mencari ketiga film di atas dan barangkali kita akan merasakan emosi yang sama pada akhirnya.

Sesi diskusi dimulai. Saya pikir, klub ini akan membahas film yang ditayangan tadi tapi ternyata film itu hanya digunakan sebagai pemantik. Entah perasaan atau ingatan. Mana saja yang lebih dekat denganmu.

Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan diberikan beberapa pertanyaan dan pertanyaan pertama; “siapa yang seharusnya memaafkan siapa?”

Jawabannya berdasarkan ketiga film yang sudah kami nonton dan kesimpulannya, kami sepakat kalau semua bisa memaafkan dan berhak dimaafkan.

Pertanyaan kedua “kapan terakhir kali kamu memaafkan?” Waduh, semakin dalam rupanya pertanyaan ini. Pikir saya.

Lalu satu persatu dari kami di dalam kelompok masing-masing menjawab dengan jawaban yang berbeda dan benar saja, ini semakin dalam.

Saat saya hendak menjawab, seorang panitia penyelenggara datang menghampiri dan mengingatkan kami untuk membagikan hal yang ingin kami bagikan dan menyimpan apapun yang belum nyaman untuk dibagikan.

Saya pun menjawab, “minggu lalu saat bertamu ke rumah Om saya.” Lalu obrolan terputus. Saya terdiam. Mencoba beralih pada pertanyaan berikutnya.

Pertanyaan ketiga, “Apa yang belum bisa kamu maafkan?” seketika saya terdiam dan membiarkan teman lain menjawab. Hingga akhirya, seorang teman yang sejak awal kegiatan terlihat sangat diam, mulai mencoba menjawab, “diri saya sendiri.” ucapnya lirih dan detik itu juga air matanya tergenang. Kita semua terdiam. Saya yang kebetulan duduk tepat di sebelahnya, menghampiri panitia dan meminta tisu untuknya.

“Saya selalu marah sama diri sendiri karena selalu merasa tidak berdaya, takut dan tidak cekatan. Padahal saya selalu ingin bergaul. Ingin bicara seperti yang lain. Ingin didengarkan tapi saya selalu takut. Tadi pagi, saya hampir saja telat datang ke tempat ini karena suatu hal tapi saya berusaha untuk tetap datang karena saya ingin belajar bersosialisasi. Maaf ya kalau dari tadi saya lebih banyak diam. Saya hanya takut tapi saya senang ada di sini.”

Kami merangkulnya dan berterima kasih sebab sudah menjadi lebih berani dan emosi yang ia ceritakan adalah lumrah.

Pertanyaan ketiga ini membuat kami semakin membuka diri dan entah bagaimana mendapatkan rasa nyaman untuk menceritakan bagian-bagian dari dalam diri kami yang barangkali selama ini hanya disimpan sendiri.

Beralih ke pertanyaan keempat dan kelima, “Apa yang membuat kamu mudah memaafkan?” dan “Apa yang membuat kamu sulit memaafkan?”

Setelah mendengar jawaban dari semua peserta di kelompak ini, saya menyimpulkan bahwa yang membuat seseorang lebih mudah untuk memaafkan adalah mendapatkan permintaan maaf yang tulus dari yang bersangkutan. Juga sebaliknya, yang membuat seseorang sulit memaafkan karena tidak ada permintaan maaf yang tulus.

Lalu pertanyaannya, bagaimana kita tahu dia tulus atau tidak? Saya pikir, ini fungsinya hati. Ketulusan akan sampai begitu saja di hati masing-masing.

***

Klub Alteraksi adalah pilihan yang tepat untuk menghabiskan akhir pekan kali ini. Saya pulang dengan hati yang penuh dan rasa bosan yang mereda.

Tapi di dalam MRT, pertanyaan tentang “Siapa yang seharusnya memaafkan siapa” masih terus terngiang di dalam kepala. Dan teapat sebelum tidur, pertanyaan itu berganti menjadi;

“Siapa yang belum bisa kamu maafkan?”

Sampai tulisan ini dibuat, saya belum juga menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

--

--

Ummu Amalia M
Ummu Amalia M

Written by Ummu Amalia M

Isi kepala saya terlalu banyak. Beberapa coba saya rapikan dan simpan di sini.

No responses yet